Selasa, 08 Oktober 2013

Isu-isu Lingkungan Terpenting Abad 21

              Perubahan cara kita mengelola lahan dan masalah yang ditimbulkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir menjadi dua isu lingkungan terpenting abad 21. Perbaikan dramatis pada cara kita mengelola lahan dan memilih energi menjadi kunci kesuksesan memasok makanan, menghemat air dan mengatasi masalah perubahan iklim pada abad 21.
              Hal ini terungkap dalam Buku Tahunan Program Lingkungan PBB (UNEP’s Year Book) 2012 yang diterbitkan minggu lalu. Menurut UNEP, selama 25 tahun terakhir, sebanyak 24% wilayah daratan dunia sudah mengalami penurunan kualitas dan produktifitas akibat pola pengelolaan tanah yang tidak berkelanjutan.
              Cara bertani dan mengolah lahan konvensional yang eksploitatif memicu erosi tanah 100 kali lipat lebih cepat dibanding cara alam membentuknya. Pada 2030, jika kita tidak mengubah cara kita mengelola lahan, lebih dari 20% habitat di darat seperti hutan, rawa-rawa dan padang rumput di negara berkembang, akan segera berubah menjadi lahan garapan. Hal ini akan menyebabkan kerusakan parah pada keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem penting seperti material, air dan energi yang kita gunakan.
             Dampak cara kita mengelola lahan terhadap perubahan iklim juga sangat besar. Tanah mengandung bahan-bahan organik yang berfungsi sebagai penyimpan karbon dalam jumlah besar. Bahan-bahan organik ini juga berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan memungkinkan tanah meyerap air hujan.
           Sejak abad ke-19, sekitar 60% karbon yang tersimpan di tanah dan tanaman hilang akibat perubahan penggunaan lahan, seperti untuk lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Tanah di dunia sedalam satu meter, diperkirakan menyimpan 2.200 Gigaton atau 2.200 miliar ton karbon – lebih banyak dibanding jumlah karbon yang tersimpan di atmosfer. Jika cara pengelolaan lahan tradisional berlanjut, karbon-karbon ini akan terlepas ke atmosfer yang akan memerparah pemanasan global yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar fossil.

            Kerusakan pada lahan-lahan gambut saat ini memroduksi lebih  dari 2 Gt emisi karbon dioksida (CO2) per tahun – setara dengan 6% emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh manusia. Dan tingkat kerusakan lahan gambut saat ini 20 kali lipat lebih cepat dibangkit kapasitas lahan gambut untuk menyimpannya.
Buku tahunan yang diluncurkan empat bulan sebelum Pertemuan Rio+20 ini juga membahas tantangan besar untuk menon-aktifkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sudah berakhir masa pakainya. Dalam sepuluh tahun ke depan, jumlah PLTN diperkirakan akan bertambah 80 unit. Pada saat yang sama, PLTN generasi pertama juga akan berakhir masa pakainya. Terhitung Januari 2012, sebanyak 138 PLTN akan dinon-aktifkan di 19 negara, termasuk 28 di Amerika Serikat, 27 di Inggris, 27 di Jerman, 12 di Perancis, 9 di Jepang dan 5 di Federasi Rusia. Namun dari semua PLTN yang akan dinon-aktifkan tersebut hanya 17 yang sudah berhasil dinon-aktifkan dengan aman.
           Negara-negara maju kini juga tengah meninjau kembali program nuklir mereka sejak terjadinya tragedi tsunami yang merusak PLTN di Fukushima dan wilayah lain di Jepang pada 2011.
Sementara jumlah negara berkembang yang berencana membangun PLTN baru semakin banyak dan PLTN tua yang akan dinon-aktifkan juga terus bertambah.
             Menurut UNEP, biaya untuk menon-aktifkan PLTN tergantung dari tipe, ukuran, kondisi dan lokasi reaktor serta kedekatannya ke fasilitas pembuangan limbah nuklir. Di Amerika Serikat, biaya rata-rata untuk menon-aktifkan PLTN mencapai 10-15% dari modal awal. Sementara di Perancis, dalam kasus reaktor Brennilis, biayanya mencapai 60% dari modal biaya pendirian. Biaya ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa datang.
            Menurut Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP, dua masalah besar di atas – yaitu tata kelola lahan dan penon-aktifan PLTN – akan menentukan masa depan dunia. “Pertanyaannya adalah, apakah dunia nanti mampu memerangi dampak perubahan iklim dan mengatasi limbah berbahaya termasuk limbah nuklir,” ujarnya. Untuk itu dunia perlu memertimbangkan masak-masak cara mereka memilih energi dan mengelola lahan. Semua demi keselamatan dan kesehatan generasi mendatang.

Sejarah Berdirinya UKM PLH HIBER UNTAN

UKM PLH HIBER UNTAN, berdiri pada tanggal 08 Oktober 2009 dan merupakan UKM lingkungan yang pertama berdiri di lingkungan UNTAN. Sejarah singkat mengenai berdirinya Sekretariat Hijau Bersih berawal dari sebuah komunitas, yaitu KOMUNITAS HIJAU-BERSIH yang dirintis oleh Mahasiswa UNTAN dari berbagai Fakultas dan yang di ketuai Benny Thanheri, Dkk.
KOMUNITAS HIJAU-BERSIH adalah kelompok masyarakat yang berupaya untuk melakukan pola hidup ramah lingkungan yang dimulai dari diri sendiri.
Ada beberapa hal yang melatar belakangi berdirinya komunitas ini adalah :
- Hubungan manusia tidak hanya dengan Sang Pencipta dan sesama manusia tetapi juga hubungan alam sekitarnya (lingkungan).
- Pada dasarnya kita "Manusia" sangat menyukai keindahan termasuk keindahan lingkungan (kebersihan, kesejukan, dll).
- Masalah lingkungan hidup makin meningkat (Climate Change, pemanasan global, pencemaran/polusi, sampah, hilangnya estetika, kerusakan hutan, dll).
- Kesadaran dan pradigma masyarakat masih kurang peduli terhadap upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
- Pola hidup ramah lingkungan masih kurang diterapkan misalnya massih banyak yang membuang sampah sembarangan, tidak melakukan 3R (Reduce. Reuse, Recyle), tidak menjaga media penjaga kebersihan, merusak pohon, vandalisme, dll.
- Upaya sosialisasi dan publikasi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup masih perlu ditingkatkan.
- Perlunya dukungan-dukungan perorangan atau kelompok dalam upaya membantu upaya-upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup serta motivator-motivator dalam membantu upaya-upaya tersebut.
- Kita "Manusia" sebagai mahluk yang berpikir dan berperasaan artinya kita sangat adil dalam menentukan "Nasib Bumi" kita ini dan perlu diingat bahwa bumi kita hanya 1 (satu-satunya tempat indah yang bisa dihuni).