Perubahan cara kita mengelola lahan dan masalah yang ditimbulkan oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir menjadi dua isu lingkungan terpenting
abad 21. Perbaikan dramatis pada cara kita mengelola lahan dan memilih energi
menjadi kunci kesuksesan memasok makanan, menghemat air dan mengatasi
masalah perubahan iklim pada abad 21.
Hal ini terungkap dalam Buku Tahunan Program Lingkungan PBB (UNEP’s
Year Book) 2012 yang diterbitkan minggu lalu. Menurut UNEP, selama 25
tahun terakhir, sebanyak 24% wilayah daratan dunia sudah mengalami
penurunan kualitas dan produktifitas akibat pola pengelolaan tanah yang
tidak berkelanjutan.
Cara bertani dan mengolah lahan konvensional yang eksploitatif memicu
erosi tanah 100 kali lipat lebih cepat dibanding cara alam
membentuknya. Pada 2030, jika kita tidak mengubah cara kita mengelola lahan, lebih
dari 20% habitat di darat seperti hutan, rawa-rawa dan padang rumput di
negara berkembang, akan segera berubah menjadi lahan garapan. Hal ini akan menyebabkan kerusakan parah pada keanekaragaman hayati
dan layanan ekosistem penting seperti material, air dan energi yang kita
gunakan.
Dampak cara kita mengelola lahan terhadap perubahan iklim juga sangat
besar. Tanah mengandung bahan-bahan organik yang berfungsi sebagai
penyimpan karbon dalam jumlah besar. Bahan-bahan organik ini juga
berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang diperlukan tanaman untuk tumbuh
dan memungkinkan tanah meyerap air hujan.
Sejak abad ke-19, sekitar 60% karbon yang tersimpan di tanah dan
tanaman hilang akibat perubahan penggunaan lahan, seperti untuk lahan
pertanian dan pemukiman penduduk. Tanah di dunia sedalam satu meter, diperkirakan menyimpan 2.200
Gigaton atau 2.200 miliar ton karbon – lebih banyak dibanding jumlah
karbon yang tersimpan di atmosfer. Jika cara pengelolaan lahan tradisional berlanjut, karbon-karbon ini
akan terlepas ke atmosfer yang akan memerparah pemanasan global yang
diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar fossil.
Kerusakan pada lahan-lahan gambut saat ini memroduksi lebih dari 2 Gt
emisi karbon dioksida (CO2) per tahun – setara dengan 6% emisi gas
rumah kaca yang diproduksi oleh manusia. Dan tingkat kerusakan lahan
gambut saat ini 20 kali lipat lebih cepat dibangkit kapasitas lahan
gambut untuk menyimpannya.
Buku tahunan yang diluncurkan empat bulan sebelum Pertemuan Rio+20
ini juga membahas tantangan besar untuk menon-aktifkan Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang sudah berakhir masa pakainya. Dalam sepuluh tahun ke depan, jumlah PLTN diperkirakan akan bertambah
80 unit. Pada saat yang sama, PLTN generasi pertama juga akan berakhir
masa pakainya. Terhitung Januari 2012, sebanyak 138 PLTN akan dinon-aktifkan di 19
negara, termasuk 28 di Amerika Serikat, 27 di Inggris, 27 di Jerman, 12
di Perancis, 9 di Jepang dan 5 di Federasi Rusia. Namun dari semua PLTN
yang akan dinon-aktifkan tersebut hanya 17 yang sudah berhasil
dinon-aktifkan dengan aman.
Negara-negara maju kini juga tengah meninjau kembali program nuklir
mereka sejak terjadinya tragedi tsunami yang merusak PLTN di Fukushima
dan wilayah lain di Jepang pada 2011.
Sementara jumlah negara berkembang yang berencana membangun PLTN baru
semakin banyak dan PLTN tua yang akan dinon-aktifkan juga terus
bertambah.
Menurut UNEP, biaya untuk menon-aktifkan PLTN tergantung dari tipe,
ukuran, kondisi dan lokasi reaktor serta kedekatannya ke fasilitas
pembuangan limbah nuklir. Di Amerika Serikat, biaya rata-rata untuk menon-aktifkan PLTN
mencapai 10-15% dari modal awal. Sementara di Perancis, dalam kasus
reaktor Brennilis, biayanya mencapai 60% dari modal biaya pendirian.
Biaya ini diperkirakan akan terus meningkat pada masa datang.
Menurut Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP, dua masalah besar di
atas – yaitu tata kelola lahan dan penon-aktifan PLTN – akan menentukan
masa depan dunia. “Pertanyaannya adalah, apakah dunia nanti mampu
memerangi dampak perubahan iklim dan mengatasi limbah berbahaya termasuk
limbah nuklir,” ujarnya. Untuk itu dunia perlu memertimbangkan masak-masak cara mereka memilih
energi dan mengelola lahan. Semua demi keselamatan dan kesehatan
generasi mendatang.